Itstisna’ dalam Iman

Oleh: Muslich Khumaidi 
Qo’idah: Manusia dikatakan sebagi orang yang mukmin dalam hokum-hukumnya dan dalam hal waritsnya, dan dia tidak mengetahui bagaimanakah kedudukannya disisi Allah, maka barang siapa yang mengatakan bahwa ia seorang mukmin sejati (Mukmin Haqqon) ia adalah seorang mubtadi’, dan barang siapa yang mengatakan bahwa dia  mukmin disisi Allah maka ia pembohong, dan barang siapa yang mengatakan beriman kepada Allah maka dialah yang benar.

A.    Pengertian
Maksud istitsna’ dalam iman adalah perkataan seseorang ketika ditanya apakah anda mukmin? Maka ia menjawab “ Tiada Illah selain Allah SWT, atau aku beriman kepada Allah atau  aku seorang mukmin insya Allah atau aku berharap menjadi seorang mukmin.

Imam Ahmad mengatakan Istitsna’ dalam iman merupakan sunah terdahulu yaitu para ulama’dan bukan menunjukkan keragu-raguan, maka jika seseorang ditanya apakah engkau seorang mukmin? Maka hendaknya ia mengatakan: saya seorang mukmin insya Allah, atau ia mengatakan saya berharap menjadi seorang mukmin, atau ia mengatakan saya beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan rosul-rosul-Nya .

Ibnu Taimiyah mengatakan: Adapun mazdhab salaf yaitu para ashabul hadits, seperti Ibnu Mas’ud dan sahabat-sahabatnya,  ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, serta kebanyakan ulama’ kufah, Yahya bin Said al-Qothon,   atas apa yang diriwayatkan oleh ulama’ ahlul bashroh, dan Ahmad bin Hambal dan lainnya dari ulama’ sunnah sesungguhnya mereka melakukan ististna’dalam masalah iman ini. Dan riwayat ini mutawatir dari mereka.

Imam Ahmad mengatakan bahwasanya Ali bin Bahr menceritakan kepada saya ia berkata: Saya mendengar Jarir bin Abdul Hamid berkata: Sesungguhnya al-A’masy,  Mughiroh, Mansyur, Laits, Atha’ bin as-Saib, Ismail bin Abi Kholid, Amaroh bin Qo’qo’, al-Ala’ bin al-Musayib, Ibnu Sabrimah, Sufyan Ats-Tsauri, Hamzah dan Ziyat mereka mengatakan: Kita adalah mukmin_Insya Allah_ dan mereka mencela kepada mereka yang tidak ber itstisna’. 


B.    Bentuk-bentuk itstisna’
Dalam masalah istisna’ Ahlu sunnah menetapkan dengan tiga keadaan:
a.    Istisna’ menjadi haram jika yang dimaksud adalah ragu akan adanya aslul iman, bahkan ia telah kafir keluar dari islam, karena iman adalah sesuatu yang harus diyakini dalam hati, adapun keraguan menafikan rasa yakin ini, maka ini bukan termasuk istisna’ yang di maksudkan para salaf terdahulu.
Abu bakar al-Marwazi berkata: dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hambal: Apakah jika engkau beristisna’ dalam iman ini menjadikan engkau ragu? Maka beliau menjawab “ Tidak” .
Imam Al-Ajuri berkata: Sifat ahlul haq yaitu para ahlul ilmi, adalah: Istisna’ dalam iman ini tidak atas dasar keragu-raguan_kita berlindung kepada Allah dari keragu-raguan ini_  akan tetapi karena takut mensucikan diri mereka dari kesempurnaan iman, mereka tidak mengetahui apakah benar-benar mereka mendapatkan hakikat iman itu atau tidak .
b.    Istisna’ menjadi wajib, jika tujuannya adalah takut terjerumus dalam mensucikan diri mereka, serta bertujuan sebagai persaksian atas pelaksanaan iman yang muthlaq, dengan mengerjakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan sebagaimana firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ 
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
    Kemudian firman_Nya :    
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.
Dan atas dasar ayat inilah imam Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan: Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa ia seorang mukmin sejati (haqun), ia adalah mubtadi’.
c.    Istisna’ menjadi boleh jika yang dimaksudkan adalah: “ saya mukmin dengan kehendak Allah, dalam artian bahwa apa yang teradi didalam hatinya atas kehendak Allah, dan yang didalamnya tidak ada unsur keraguan, Allah berfirman :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat” .
Rosulullah SAW bersabda ketika berdiri diatas kuburan :
وإنا إن شاء الله بكم لاحقون
“ Dan dengan kehendak Allah lah kami jua akan mengusul.
Suatu ketika Hasan al-bashri ditanya: Apakah anda mukmin? Beliau menjawab: Iman ada dua,  jika anda bertanya kepadaku tentang iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya,  Jannah, hari kebangkitan, hisab, maka dalam hal ini aku mukmin. Akan tetapai jika anda bertanya tentang firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.
 Maka beliau mengatakan: Demi Allah aku tidak tahu apakah aku termasuk darinya atau tidak.
Imam al-Baihaqi berkata : “ mengomentari masalah ini “ dalam hal ini Hasan al-Bashri tidak berhenti pada aslul iman, akan tetapi yang dimaksudkan adalah pada kesempurnaan iman yang mana Allah menyediakan kepadanya dengan Firman-Nya:
أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.
Imam al-Ajuri berkata: Ahlul ilmi dan ahlul haq jika ditanya: Apakah anda seorang mukmin? Maka ia akan menjawab Aku beriman kepada Allah, malaikat-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir, jannah dan neraka, maka mukmin adalah yang mengucapkan dengan ucapan  ini serta  meyakininya dalam hati, adapun istisna’ dalam iman adalah tidak mengertinya apakah ia layak untuk mendapat nikmat Allah, yang diberikan kepada orang mukmin dari hakikat keimanan atau tidak.
Inilah jalan para sahabat dan orang yang mengikutinya, bahwa isttistna’ pada amal bukan terjadi pada perkataan dan keyakinan hati, hanyasanya istisna’ terjadi pada amalan-amalan yang merupakan tuntutan hakikat keimanan.
Ibnu taimiyah mengatakan : “ jika yang dimaksudkan adalah: “ aku tidak mengetahui apakah aku telah mengerjakan seluruh apa yang diwajibkan Allah kepada ku, dan apakah Allah menerima amalanku, dan maksudnya bukan rasa ragu-ragu atas apa yang ada dalam hatinya, maka ini  adalah istisna’nya Hasan Al-Bashri, dan tujuannya adalah agar dirinya bersih, dan tidak terhenti  amalan yang telah ia lakukan kemudian Allah menerimanya, padahal dosanya sangat banyak sekali, dan kenifakan itu ditakutkan kepada semua manusia.
Imam al-Auza’I mengatakan : ada tiga hal yang merupakan bid’ah : “ saya adalah orang yang sempurna imannya, saya adalah mukmin hak, dan saya mukmin disisi Allah.
Imam al-Ajuri berkata : hindarilah oleh kalian perkataan orang yang mengatakan: bahwa imannya seperti imannya jibril, mikail, dan orang  yang mengatakan: saya Mukmin disisi Allah, saya orang yang sempurna imannya, maka ini semuanya merupakn madzhabnya murji’ah.
Ibnu Qoyyim berkata : “ Para muhaqiqun telah berpendapat dalam permasalahan “ Ana mukmin”  telah dijelaskan secara rinci, maka hendaklah ia mengatakan: Aku beriman kepada Allah, MalaikatNya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul, dan pertemuan dengan-Nya, dan janganlah ia mengatakan: Saya Mukmin, karena perkataannya mengandung makna iman secara mutlak, sempurna, yang mengerjakan perintah-perintah, dan meninggalkan  larangan-larangan, dan tidak termasuk didalamnya perkataan “Amantu billah”

C.    Kelompok yang menyelisihi ahlu sunnah
a.    Jahmiyah, Murji’ah, dan Al-Maturidiyah
Mereka melarang istisna’ dalam iman ini, karena itu menunjukkan keragu-raguan, atas dasar perkataan mereka: Bahwasanya iman itu adalah pembenaran, dan ia tidak berkurang dan bertambah, maka barang siapa yang beristisna’ dalam iman ini maka ia telah ragu-ragu, dan barang siapa yang ragu-ragu dalam keyakinannya maka ia telah kafir.
Maka Ahlu sunnah mengenal istilah” Apa-apa yang di bangun atas kebatilan maka ia adalah bathil 
Abdurrahman bin Mahdi berkata : “ Meninggalkan istisna’ dalam iman merupakan keyakinan murji’ah.
Imam Ahmad mengatakan : Barang siapa yang tidak mendaptkan istisna’ dalam imannya, maka ia adalah murji’ah.

b.    Al-Kulabiyah dan Asya’iroh
Mereka mengatakan bahwa istisna’ dalam iman adalah wajib, menurut mereka wajibnya beristisna’ adalah  pada kematiannya, atau akhir hayatnya, bukan hal yang terjadi pada saat itu.

Ibnu Taimiyah mengatakan: Adapun tentang istisna’ yang berhubungan dengan kematian nanti maka tidak diketahui sedikitpun dari para salaf berlarut-larut dalam hal ini, akan tetapi kebanyakan dari ulama kontemporer berlarut-larut dalam masalah ini, yaitu dari para Ashabul Hadits (dari sahabatnya Imam Ahmad, Malik, Syafi’I dll), sebagaimana yang dilakukan ulama’-ulama’ besar mereka, seperti Abu Hasan al-Asy’ari, dan kebanyakan para sahabatnya. Akan bukan ini yang dikatakan para salaf dan ashabul hadits.


D.    Kesimpulan
Masalah istitsna (mengucapkan insya Allah) dalam hal iman termasuk masalah yang didiskusikan secara panjang lebar oleh para ulama. Adapun sikap yang benar tentang ungkapan ini adalah harus dirinci tentang makna mukmin di sini. Kalau maksud mukmin di sini adalah dengan makna muslim yang menjadi lawan dari kafir, maka tidak boleh mengucapkan insya Allah di sini karena di dalamnya terkandung makna keraguan tentang pokok-pokok agama dan ini diharamkan, bahkan wajib bagi setiap muslim untuk meyakinkan keimanannya tentang ungkapan ini dan mengatakan mukmin tanpa insya Allah. Adapun bila yang dimaksud dengan mukmin di sini adalah mukmin yang sempurna dengan tingkatan yang tinggi di atas tingkatan Islam maka dia wajib mengucapkan insya Allah karena bila tanpa insya Allah berarti menganggap dirinya suci yang dilarang oleh syariat sebagaiman firman Allah:

"Maka janganlah kalian menganggap diri kalian suci."

Bila seseorang ingin mengucapkan ungkapan yang tidak mengandung kesamaran tentang agama yang diyakininya, maka hendaklah dia mengatakan: "Saya muslim." Tanpa perlu mengucapkan insya Allah dalam hal ini . Wallahu A'lam.
0 komentar

Sharing is caring. Share this article now!

0 komentar:

Posting Komentar